Telusuri hubungan kompleks antara kristenisasi & kolonialisme di Indonesia kisah sejarah yang membentuk identitas, pendidikan, dinamika keagamaan hingga hari ini.
Isu kristenisasi di Indonesia tak dapat dilepaskan dari sejarah panjang kolonialisme Barat. Pada masa penjajahan, misi penyebaran agama Kristen kerap berjalan seiring dengan ekspansi kekuasaan bangsa Eropa, khususnya Belanda, Portugis, dan Spanyol. Dalam banyak kasus, agama menjadi pintu masuk “peradaban baru” yang diperkenalkan oleh penjajah kepada masyarakat lokal, meski di baliknya terselip motif politik dan ekonomi.
Awal Mula Kristenisasi di Era Kolonial
Kristenisasi di Nusantara dimulai seiring dengan kedatangan bangsa Portugis pada abad ke-16, khususnya di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku dan Flores. Para misionaris Katolik yang datang bersama armada dagang memiliki misi ganda: menyebarkan iman dan memperkuat pengaruh kekuasaan kerajaan mereka di wilayah baru.
Kemudian, pada masa kolonial Belanda, khususnya setelah berdirinya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), misi kristenisasi terus berlanjut, meski sempat dibatasi karena VOC lebih fokus pada keuntungan ekonomi. Namun pada abad ke-19, setelah VOC dibubarkan dan Hindia Belanda berada langsung di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda, kegiatan misi Kristen Protestan kembali digalakkan.
Pendidikan dan Kristenisasi
Salah satu alat paling efektif yang digunakan dalam kristenisasi di era kolonial adalah pendidikan. Sekolah-sekolah misi dibangun untuk mendidik anak-anak pribumi, tidak hanya dalam ilmu baca tulis, tapi juga ajaran agama Kristen. Ini menciptakan kelas masyarakat baru yang cenderung berpihak pada kolonial karena mereka dididik dalam sistem yang mengadopsi nilai-nilai Eropa.
Meskipun membawa ilmu dan keterampilan, proses ini juga menciptakan jurang identitas. Banyak individu merasa terjauh dari akar budaya dan agama lokal mereka, sehingga kristenisasi dipandang sebagai bagian dari proyek kolonialisasi identitas.
Kristenisasi: Misi Rohani atau Alat Politik?
Satu pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah kristenisasi murni bertujuan menyebarkan ajaran cinta kasih, ataukah menjadi alat ideologis penjajah? Jawabannya tidak selalu hitam-putih.
Ada banyak misionaris yang dengan tulus melayani masyarakat lokal, membangun sekolah, rumah sakit, bahkan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kristenisasi kerap dijadikan justifikasi moral atas dominasi politik kolonial. Dalam pandangan penjajah, masyarakat pribumi “perlu diselamatkan”—bukan hanya secara spiritual, tapi juga secara budaya dan cara hidup.
Warisan yang Masih Terasa
Hingga kini, pengaruh kristenisasi dan kolonialisme masih terasa dalam kehidupan beragama dan hubungan antarkelompok di Indonesia. Ada wilayah-wilayah yang secara historis menerima agama Kristen melalui misi kolonial, dan identitas keagamaannya terbentuk bersamaan dengan warisan kolonialisme.
Di sisi lain, sensitivitas terhadap isu kristenisasi masih tinggi karena trauma sejarah kolonialisme yang dianggap menyatu dengan ekspansi agama.